kerugian
akhlak tercela lainnya adalah, ketika pasangan suami istri yang salah satunya
memiliki akhlak tercela, misalnya isteri buruk akhlaknya maka doa sang suami
tidak akan dikabulkan oleh Allah Subhanahu Wa Ta’ala. Maka
disinilah pentingnya tarbiyah tentang akhlak bagi para isteri. Jika sudah
ada gejala-gejala keburukan akhlak dari isteri maka suami wajib menasihati. Jika
tidak mampu dan terus berperilaku akhlak buruk setelah diberi bimbingan,
tarbiyah, pelajaran, intinya suami tidak mampu memperbaiki akhlak isteri dengan
nasehat dan bimbingan maka dilakukanlah fasal yang kedua yaitu hajr.
Maksud hajr yaitu: dibiarkan, dimusuhi, dijauhi, diboikot, tidak disapa, tidak
diajak bicara berdasarkan firman Allah yang artinya, “Dan kepada wanita- wanita
yang dikhawatirkan akan nusyuz mereka, maka didik mereka/bina mereka/ hajr
mereka.” Hajr maknanya pisah ranjang namun dalam satu rumah. Ibnu Abbas
radhiyallahu anhu menjelaskan bahwa makna hajr adalah tidak menegur dan tidak
mengajak bicara mereka. Dengan kata lain mempraktekkan jurus GTM (Gerakan Tutup
Mulut) selama beberapa waktu di hadapan istri.
Jika falsa
ini tidak mengubah keburukan isteri maka fasal berikutnya adalah “wadhribuhunna”
pukul mereka, dengan catatan tidak boleh memukul wajah, dan tidak boleh
memburuk-burukan yakni dengan memanggil dengan gelaran yang buruk. Kemudian
pukulan tersebut tidak boleh menimbulkan bekas apalagi sampai menimbulkan luka.
Jika fasal ini tidak juga mengubah akhlak isteri bahkan ketika dipukul menangkis
dan pasang kuda-kuda maka hal ini mengindikasikan sudah sangat buruk akhlaknya.
Maka isteri yang seperti itu layak untuk
diceraikan. Dan jika tidak
diceraikan maka selama itu pula Allah tidak akan mengabulkan do’a suami yang
memiliki isteri yang berakhlak buruk.
Dalam sebuah
hadits yang diriwayatkan Imam Hakim dalam Al Mustadrak dengan sanad shahih
berdasarkan syarat Bukhari, dan hadits ini juga terdapat dalam Sisilah Ahadits
Ash Shohihah karya Imam Al Albani rahimahullah no 1805 Rasulullah shallallahu
alaihi wa sallam:
"
ثَلاَثَةٌ يَدْعُوْنَ فَلاَ يُسْتَجاَبُ لَهُمْ : رَجُلٌ كَانَتْ تَحْتَهُ
اِمْرَأَةٌ سَيِّئَةُ الْخُلُقْ فَلَمْ يُطَلِّقْهَا ,
وَ رَجُلٌ كَانَ لَهُ عَلىَ رَجُلٍ مَالٍ فَلَمْ يَشْهَدْ عَلَيْهِ ,
وَ رَجُلٌ آتَى سَفِيْهاً مَالَهُ وَ قد قاَلَ الله
عَزَّ وَجَلَّ : *( و لا تؤتوا السفهاء أموالكم )* " .
“Ada tiga golongan yang ketika
berdoa kepada Allah, Allah tidak mengabulkan do’anya: seorang laki-laki yang
memiliki isteri yang buruk akhlaknya namun tidak diceraikan, seorang lelaki
yang dia diminta menjadi saksi atas transaksi pinjam meminjam kemudian dia
tidak bersedia, laki-laki yang memiliki harta orang lain yang belum mampu untuk
mengelolanya namun diberikan harta tersebut kepada orang yang belum mampu
mengelolanya”
Selama dia
memiliki isteri yang buruk akhlaknya maka selama itu do’anya tidak dikabulkan.
Padahal sholat berisi do’a dan tidak akan dikabulkan oleh Allah Subhanahu Wa
Ta’ala.
Inilah salah
satu pentingnya akhlak mulia dan kesan buruk keburukan akhlak buruk. Keburukan
akhlak dapat memberikan kesn buruk kepada orang lain. Isteri yang buruk akhlaknya
ternyata memberi kesan buruk kepada suami yakni berupa tidak dikabulkannya doa suami.
Jika seorang suami memiliki isteri yang buruk akhlaknya menyebabkan tidak
dikabulkannya doa suami, apalagi pemilik akhlak tercela tersebut yakni si isteri
lebih-lebih lagi tidak dikabulkan doanya oleh Allah.
(Padahal Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam memanjatkan doa yang berisi berlindung dari tidak dikabulkannya doa!!! Dan akhlak tercela menjadi penyebab tidak dikabulkannya doa. Nas alullah as salamah wal afiyah –red)
(Padahal Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam memanjatkan doa yang berisi berlindung dari tidak dikabulkannya doa!!! Dan akhlak tercela menjadi penyebab tidak dikabulkannya doa. Nas alullah as salamah wal afiyah –red)
Inilah
penjelasan tentang keburukan akhlak buruk. Dan dilanjutkan berkaitan akhlak
dengan Aqidah ....” Selesai menyadur ceramah Ustadz Abu Haidar. Mudah-mudahan
dapat dilanjutkan dengan penjelasan berkaitan akhlak dan aqidah yang
disampaikan ustadz Abu Haidar.
Tambahan
dari Redaksi:
Allah Aza
Wajalaa berfirman dalam Al Qur-an yang merupakan Kitab Al Akhlaq tentang
wajibnya mentarbiyah isteri dalam perkara akhlak:
يٰأَيُّهَا ٱلَّذِينَ آمَنُواْ قُوۤاْ أَنفُسَكُمْ وَأَهْلِيكُمْ
نَاراً
Wahai orang-orang
beriman, jagalah diri dan keluargamu dari api neraka (At Tahrim : 6 )
Berkata
Amirul Mu’minin Ali bin Abi Thalib radiyallahu anhu ketika menafsirkan ayat
tersebut:
((علموهم
وأدبوهم)) رواه ابن أبي الدنيا في كتاب [العيال: 1/ 495]
“Ajarkan (beri ilmu)
dan ajarkan adab untuk mereka: Istri dan anak” (Tafsir Ad Durrul Mantsur Imam as Suyuthi
rahimahullah)
Sebuah
hadits yang menjelaskan kerugian yang diraih dari seorang wanita yang berakhlak
buruk:
قِيْلَ
لِرَسُوْلِ اللّهِ : إِنَّ فُلاَنَةً تُصَلِّي اللَّيلَ وَتَصُومَ النَّهَارِ ((
وعند أحمد : إِنَّ فُلاَنَةً يُذْ كَرُمِنْ كَثْرَةِ صَلاَتِهَا
وَصِيَامِهَاوَصَدَقَتِهَا )) وَفِي لِسَانِهَا شَيْءٌ يُؤْذِي جِيْرَانَهَا
سَلِيْطَةً قَالَ لاَ خَيْرَ فِيْهَا هِيَ فِي النَّارِ وَقِيْلَ لَهُ إِنَّ
فُلاَنَةً تُصَلِّي المَكْتُوْبَةَ وَتَصُوْمُ رَمَصضَانَ وَتَتَصَدَّقُ
بِالأَثْوَارِ وَلَيْسَ لَهَا شَيْءٌ غَيْرُهُ وَلاَ تُؤّْذِي أَحَدًا قَالَ هِيَ
فِي الجَنَّةِ
“Dari Abu Hurairah, “Dikatakan kepada
Rasulullah, sesungguhnya si fulanah sholat malam dan berpuasa sunnah (Dalam
riwayat Ahmad, “Sesungguhnya si fulanah disebutkan tentang banyaknya sholatnya,
puasanya, dan sedekahnya”) namun ia mengucapkan sesuatu yang mengganggu para
tetangganya, lisannya panjang?” [Berkata Ibnu Manzhur, “Jika mereka berkata اِمْرَأَةٌ سَلِيْطَةٌ maka
maksud mereka ada dua yang pertama wanita tersebut adalah طَوِيْلَةُ اللِّسَانِwanita yang panjang lisannya (banyak cakapnya
sehingga menyakiti orang lain) dan yang kedua adalah حَدِيْدَةُ اللِّسَانِ wanita yang
tajam lisannya” (Lisaanul ‘Arob (VII/320))] Rasulullah berkata, “Tidak ada
kebaikan padanya, dia di neraka”. Dikatakan kepada beliau, “Sesungguhnya
si fulanah sholat yang wajib dan berpuasa pada bulan Ramadhan serta bersedekah
dengan beberapa potong susu kering, dan ia tidak memiliki kebaikan selain ini,
namun ia tidak mengganggu seorangpun?” Rasulullah berkata, “Ia di surga” [HR.
Al-Hakim dalam al-Mustadrok (IV/183 no.7304), Ibnu Hibban (al-Ihsan XIII/77 no.5764),
berkata al-Haitsami, “Dan para perawinya tsiqoh (terpercaya)” (Majma’ az-Zawaid
VIII/169) dan dishohihkan oleh Syaikh Al-Albani dalam shahih at-Targhib wat
Tarhiib no.2560]
Perhatian orang sholeh terhadap
Adab dan Akhlak Istrinya
Rasulullah shallallahu alaihi wa
sallam bersabda:
اِتَّقِ اللّهَ
حَيثُمَا كُنتَ وَأَتبِعِ الِّيئَةَ الحَسَنَةَ تَمحُهَا وَخَالِقِ النَاسَ
بِخُلُقٍ حَسَنٍ
“Bertakwalah engkau kepada Allah
kapan dimana saja engkau berada, dan ikutilah suatu kejelekan dengan perbuatan
baik maka kebaikan tersebut akan menghapus kejelekan tersebut, serta pergaulilah
manusia dengan akhlak yang baik”. [HR. At-Tirmidzi (IV/355 no. 1987), Ahmad
(V/153 no. 21392), dan dihasankan oleh Syaikh Al-Albani dalam shahihul jaami’
no. 97].
Berkata Imam
Nawawi rahimahullah dalam Syarh Arbain
An Nawawiyyah ketika mensyarah (menjelaskan) hadits no 18 di atas yang
berkenaan dengan akhlak yang baik terhadap manusia: “Dikisahkan bahwa ada
seorang Nabi mengadu kepada Tuhannya tentang buruknya akhlak istrinya, maka
Allah mewahyukan kepadanya, “Sesungguhnya Aku telah menjadikan hal itu
sebagai keburukan yang kamu peroleh.” ...selesai mengutip penjelasan Imam
Nawawi rahimahullah. Dalam kisah ini ada pelajaran tentang disyariatkannya
mentarbiyah akhlak isteri. Bagaimana jadinya jika para suami tidak mempedulikan
tarbiyah isteri dengan alasan yang dibuat-buat seperti sibuk mencari ma’isyah.
Yang lebih tidak masuk akal lagi jika beralasan sibuk berdakwah atau berkhidmah
dalam dakwah (???)
Pelajaran
lainnya, Nabi ini mengetahui betul perkara akhlak tercela dengan kacamata
ilmunya sehingga penilaian terhadap akhlak istrinya didasari dengan ilmu.
Kecintaan terhadap istrinya tidak menutup mata dan telinga dari keburukan
akhlak istrinya sehingga beliau berdoa kepada Allah. Karena perkara akhlak
adalah perkara syariat maka menilai kemuliaan akhlak seseorang haruslah dengan
parameter syariat dan bukan dengan perasaan, pikiran, adat istiadat, apalagi
hawa nafsu. Disinilah pentingnya ilmu yang dapat membedakah hak dan bathil.
Jika ilmu itu tidak dimiliki maka yang benar dapat dianggap bathil dan yang
bathil dianggap benar. Kami telah kutipkan ceramah ustadz Abu Ihsan tentang
parameter akhlak silahkan muroja'ah. Dan tidaklah ilmu itu didapat kecuali
dengan menuntut ilmu. Dan tidaklah ilmu itu didapat kecuali dengan belajar. Dan
tidaklah ilmu itu didapat kecuali dengan menghadiri taman surga yaitu majelis
ilmu.
Tiada ulasan:
Catat Ulasan